Jumat, 09 Februari 2018

Next Best Thing

Aku duduk di taman kota siang itu. Langitnya cerah,tanpa awan. Matahari menyengat sisi luar kemeja biru bermotif kotakku. Sedangkan angin,bertiup seakan membawa kesegaran yang baru saja menguap diterpa panasnya udara disekitar,mengingat tingkat polusi semakin meninggi.
Tepat di seberang jalan, sepasang mataku menangkap shape dari garis wajahnya. Pipinya terlihat lebih tembem dari sebelumnya. Rambutnya diikat dan digulung di atas. Dengan setelah kaos biru muda yang agak kekecilan, hampir membentuk tubuhnya bagian atas, kalau saja cardiganmerah mudanya dilepas. Tas selempang, menggantung di pundak kanannya, dan setumpuk buku dia tenteng di kiri. Terlihat keberatan. Aku bisa melihat dengan jelas wajah kakunya. Walau akhirnya, dia memberiku isyarat senyum ketika melirik ke arah tempat dudukku.
***
Tania. Teman kecilku yang selalu memberiku semangat dalam hidup dan gagasan konyol sehingga kita tertawa kemudian. Tak jarang dia mengajakku mengerjai orang, terdengar menyedihkan, walau sebenarnya aku tahu , bahwa Taniaberniat membagi kebahagian dengan orang itu. Yah, kadang-kadang itu menambah mood jelek.
Pernah suatu ketika, Tania mengajakku nonton film di Mall setempat. Dia menjemputku tanpa kabar sebelumnya. Entah, dia seperti tahu jadwal harianku. Kapan waktu kosongku, kapan waktu menggangguku dan bahkan dia tahu, saat aku butuh waktu sendiri.
 Tania tidak mengijinkanku duduk di kemudi. Dia terus saja bercerita panjang tentang hal menyenangkan yang dilaluinya tanpaku. Rasanya baru dua hari aku melewatkan hari tanpanya. Matanya berkilauan diikuti tawa kecil. Yang selalu terjadi adalah , dia selalu berhasil membuatku ikut tertawa kecil. Persis murid TK yang bahagia mendengar gurunya bercerita.
Dalam perjalan menuju Mall, kita membuat kesepakatan. Melakukan acting konyol bak actor kawakan di bioskop. Pura-pura saling tidak mengenal, dan pura-pura akan menonton film yang sama. Jadi kita sengaja berpisah di basement. Aku masuk lewat pintu depan, menggunakan tangga melewati lobby mall kemudian menyusuri koridor tenant. Sedangkan Tania, memilih jalan pintas menggunakan lift. Menekan tombol dan ajaib, sudah sampai di atas sana.
Lantai 3 terlihat sepi, tidak terlalu banyak pengunjung disana. Mengingat bioskop berada disana, harapanku semakin besar soal antrian yang kosong. Aku tersenyum kemudian. Sambil melangkah pasti di elevator dan melihat sekeliling mencari keberadaan Tania. Dia sedang di depan toko accessories bersama seorang pria. Badannya lebih besar dariku. Setelan rapi dan terlihat seperti body guard. Entahlah. Mereka sedang terlibat pembicaraan serius. Ekspresi muka yang menegang dan tampak kaku. Lalu berubah sedih kemudian.
Sementara aku masih melihat-lihat daftar film yang diputar hari ini, Tania masuk dengan langkah lemah dan muka memerah. Menahan amarah yang seakan mau meledak.
Aku sudah lupa soal pura-pura atau segala ide konyol yang kita rencanakan sebelumnya. Melangkah pasti mendekatinya lalu menangkapnya dilengakku. Menggandengnya ke arah tempat duduk. Memberi perhatian ke rambut berantakannya lalu menyelipkan di sela telinganya. Menepuk halus sekitar bahunya sambil tetap memegang tangannya di tanganku yang lain. Kemudian memasang wajah penasaran, dan mendekatkan muka.
"Doni...... Dia mengajakku putus!"
Aku tahu, bahwa seceria apapun orang itu, se-humories apapun, ada masanya dia tidak bisa menyembunyikan rasa sedihnya atau dia akan berhenti pura-pura bahwa dia baik-baik saja walau itu masih akan berlanjut di kemudian hari.
Tania masih bersandar di tembok tepat di bawah poster Comic8 : The Casino Royals, menyilangkan kedua tangannya di depan dada, seakan melindungi bagian terapuh dari seorang wanita. Menutupi lukanya dan berusaha mengobatinya sendiri. Yang terjadi selanjutnya, aku melingkarkan tanganku di tubuhnya, memposisikan kepalanya bertumpu di pundak dan membiarkan Tania membasahi pundakku dengan air matanya. Dia menangis tanpa suara. Aku bisa mendengar jantungnya berdegup dan nafasnya tersengal -sengal. Kemudian Tania bangkit, dan secepat kilat menghapus air matanya dan memasang garis senyum palsu yang terlihat jelas.
"Actingku, kerenkan? Ha..?"
Katanya dengan suara parau. Terdengar menyedihkan. Bahkan aku masih bisa melihat caranya bernafas yang tak wajar. Lalu aku tersenyum.
Hal yang paling menyedihkan dari seorang Tania adalah dia selalu ingin terlihat baik-baik saja, ingin selalu kokoh seperti batu karang yang menjulang, walau sebenarnya yang terjadi, terhempas anginpun dia berterbangan nun hamparan debu.
***
Riana. Gadis cantik dengan muka sendu. Rambut yang selalu diikat dan digulung ke atas, sedangkan tas selempang yang setia membebani pundak kanannya. Aku mengenalnya 12 bulan yang lalu di taman kota.
Karakternya seperti duplicate Tania. Humoris, penuh dengan tawa dan penuh kejutan. Bagian yang paling aku sukai adalah matanya. Terlihat sendu dan selalu mencuri perhatian. Tiap kali dia mulai bercerita, seakan waktu berhenti begitu saja. Menghipnotismu lalu membawamu masuk kedalam limbo ceritanya, terjebak disana dan seakan tak ingin berhenti.
Hanya saja, sinar matanya kadang terlihat menakutkan. Ketika marah, mengintimidasi dan membuatmu selalu merasa bersalah. Sampai-sampai rela meneteskan air mata sambil jongkok demi maafnya. Dia melumpuhkanmu begitu kau menatapnya.
Pernah suatu hari, aku lypa janjiku padanya. Lupa memberi kabar tentang pembatalan janji tepatnya. Dia berteriak lewat telepon, bahkan memanggilku patrick si bintang laut jambon. Dengan suara tegas dan tanpa jeda, tidak memberi waktu untukku bicara, lalu sambungan putus gitu saja. Ahhh, sial. Dia memang selalu menepati janji-janinya.
Tiga menit berikutnya, dia akhirnya mengangkat teleponku setelah menyerah dipanggilan ke-13. Giliranku yang bicara. Menjelaskan segala hal yang terjadi lalu minta maaf. Dan hening. Kemudian, aku merengek persisi anak SD minta jajan. Menegaskan suara parauku sambil menjelaskan lagi, tentu saja sambil sesekali mengusap ingus.
"Hahaha.....cengeng!"
Hanya itu. Benar-benar cuma itu.
Tapi setidaknya aku lega. Aku tidak kehilangan sahabat seperti dia. Yang selalu ada dan selalu mengerti. Memahami segala kondisi dan memberi kesempatan untuk minta maaf.
Riana memang tipe pencerita. Tapi ketika aku butuh cerita kepadanya, dia adalah pendengar terbaik yang aku miliki. Memberikan komentar dengan sabar tentu saja dengan saran kemudian. Dia terlihat lebih dewasa ketika menasihati. Seperti pantai, kadang pasang kadang surut. Begitulah Riana, ada kalanya dia bertingkah seperti anak-anak yang membuatmu tertawa lepas sampai menangis ngakak, di waktu lain bahkan aku kira dia ibuku. Terlalu bijaksana untuk wanita berusia 23 tahun.
***
Tiga hari yang lalu, tepatnya hari minggu pukul setengah lima sore, di pantai parangtritis. Aku memarkir sepedaku di bibir pantai. Memikirkan tentang dua gadis ini. Tania dan Riana. Membayangkan satu persatu berada di sampingku, lalu bertingkah romantis ala drama korea. Tertawa kecil dan saling menggoda, sambil menikmati penghabisan senja. Bisakah aku benar-benar di sampingnya. Entah Tania atau Riana.
Selama lebih dari 22 tahun bersama Tania, aku bahkan tidak pernah dibuat marah olehnya. Dia lebih mengalah dan mengerti, atau tidak membahasnya sama sekali. Pasti menyenangkan melihat anak-anakku kelak mempunyai ibu seperti dia. Terlalu banyak kenangan dengan dia. Menangis bareng, tertawa bersama, gila-gilaan tak jelas hingga berlarian dikejar-kejar warga gara-gara menyalakan petasan berulang-ulang. Aku mau menikahinya.
Lalu Riana?
Dia gadis modern. Selalu tampil dan terlihat menarik  senyum manisnya membuatku meleleh, senyum separuhnya membuatku ahhhh gemesss. Lalu, lalu... sinar matanya itu loh.... Duniaku teralihkan. Manjanya. Galaknya. Manisnya. Marahnya. Bahkan aku langsung kangen dengan cerita-ceritanya.
Ini membuatku frustasi stadium akhir. Membingungkan antara kerja otak lalu susah dicerna di bagian hati.
Tania?
Riana?
Selama tiga hari itupun aku tak henti memikirnya. Keduanya sempurna, keduanya wanita idaman. Lalu, ketika aku memilih salah satu diantaranya, apakah pihak yang tak aku pilih akan menjauh? Atau pura-pura tidak mengenalku? Mungkin marah berkepanjangan bahkan tiada akhir? Resiko selalu ada, mengingat sudah setahun ini aku tidak bisa tertarik dengan wanita lain. Sedangkan sebagai kepala urusan keuangan, aku cukup matang untuk menjadi mempelai pria di pelaminan.
***
Matahari tampak lebih panas ketika wanita itu menyapaku.
"Hai... Dading!."
Lalu duduk di sampingku. Tepat satu kepal di sebelah kanan. Bahkan sikunya sempat menyenggol lenganku. Entah apa yang terjadi. Tak seperti biasanya. Jantungku bekerja lebih keras. Sampai-sampai aku bisa mendengarnya, berketuk tanpa irama, tanpa alur atau plot. Terasa sesak disana. Di dadaku, tiga jari sebelah kiri.
Tiba-tiba saja mukaku terasa kaku. Seperti keram melanda seketika. Mengejangkan otot muka lalu tanpa ekspresi. Lebih-lebih ketika dia menoleh kearahku. Tepat di sampingku.
Cepat-cepat aku berdiri. Berlagak sok peregangan otot seperti habis olahraga berat, sambil sesekali melirik kearahnya. Aku bisa lihat dengan jelas, dahinya berkerut lalu matanya menyipit sebelah. Memasang muka penuh tanya. Lalu menunjuk jam di layar handphonenya.
Aku mengumpulkan seluruh energi dari seluruh sudut taman kota siang itu, memberanikan diri duduk menyamping kearahnya, sambil mentapnya lebih tajam. Ekspresinya semakin penuh tanya. Lalu memasang wajah siap untuk mendengar. Sementara tanganku, sedang menjelajahi isi tasku demi menemukan kotak hadiah. Menarik nafas dalam, menghembuskan buru-buru kemudian.
"Riana, meningkahlah denganku".
----ends----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar